Senin, 23 September 2013

thumbnail

4 harapan yang jika diwujudkan dapat mengubah Nusa Penida menjadi lebih baik



Sebuah pulau besar yang merupakan bagian dari Bali itulah Nusa Penida. Terkenal karena eksotika alam yang disajikan dan senyuman ramah selamat datang para penduduknya. Harta karun yang tersembunyi dalam bentuk kemilau pantai dan deretan tebing karang yang menakjubkkan. Matahari pagi menghias dinginnya pantai berpasir hitam dan putih. Rona kemerahan mewarnai deburan ombak yang menggulung menghempas daratan menambah lengkap keindahan alamnya.
Ditengah keindahan alam yang kaya dan tempat yang eksotis, tertanamlah sekumpulan khayalan yang menjelma menjadi harapan. Khayalan dan harapan yang datang dan tercipta dari masyarakat dengan pemikirannya yang menginginkan sebuah perubahan untuk pulau tercinta. Kata-kata usang yang menghiasi setiap barisan kata yang akan keluar demi perubahan yang diharapkan menjadi khayalan tingkat tinggi yang berkarat. Salah satu barisan kata-kata itu berbunyi “seandainya Nusa Penida….”, yang dilanjutkan dengan setumpuk kata berkarat lainnya tersusun membentuk kalimat harapan

1.      “seandainya Nusa Penida memiliki jalan yang rata dan lebar, ia pasti akan berkembang maju”
Ini adalah Kalimat pertama yang sering terucap dari dalam hati masyarakat yang mencintai Nusa Penida. Kalimat itu bukannya tidak berdasar, jalan yang menjadi pijakan kaki dan roda itu penuh lubang, bergelombang dan sempit. Lubang – lubang yang tercipta bukan karena disengaja, namun karena sudah tua, rapuh, dan tak terawat. Lubang – lubang yang seperti ranjau ini sering menjadi sarang air dan kolam kecil ketika rintik air turun dari langit. Bahkan, lubang itu juga berisi suara – suara keluhan setiap kali pengendara melewati lubang berbatu ini dengan kendaraan. Sarana yang seharusnya dirombak dan diperbaiki total ini terkadang hanya dipoles seadanya untuk memunculkan kesan sudah diperbaiki. Dan lagi, tidak ada lampu penerang jalan yang fungsinya bisa dibilang kronis. Jalan yang dibuat saat masa bapak soeharto ini seperti akan berubah menjadi jalan bertanah biasa.jika saja jalan ini diganti menjadi jalan yang rata atau istilah lainnya hotmik, pasti akan lain ceritanya. Kata “seandainya” yang mengawai setiap kalimat pasti akan hilang dan akan menjadi “Nusa Penida memiliki jalan yang rata da lebar, ia pasti akan berkembang maju”.

2.      “Seandainya sarana trasportasi diperbaiki dan dikembangkan, Nusa Penida tak akan menjadi pulau terisolasi lagi”
 
Ini adalah kalimat kedua yang datang dari dalam goa yang penuh lumut kebosanan masyarakat Nusa Penida. Kenapa masyarakat mengeluarkan kalimat seperti itu??, bukannya sudah banyak transportasi yang dibuat. Iya, memang banyak. Banyak transportasi dibuat seperti boat dan jukung, tetapi banyak juga tanggung jawab dan taruhan yang mesti diujung tanduk. Faktor keamanan yang masih kurang, pemaksaan jumlah penumpang yang melebihi kapasitas, pengoperasian perahu yang sudah tua, seperti berlayar mempertaruhkan nyawa. Jukung dan boat ini memang bagus untuk menambah pendapatan daerah, khusunya Nusa Penida yang memiliki usaha penyebrangan ini. Tetapi faktor keamanan, kenyaman, keselamatan perlu juga diprioritaskan. Kalu ingin lebih aman, naik saja kapal roro, itu saja kok repot? Iya, memang lebih aman, memang tidak merepotkan. Tetapi ada juga tetapinya. Kalau beruntung, masyarakat bisa duduk dibangku/tempat duduk. Namun jika tidak beruntung, masyarakat seperti “pengemis” yang duduk dilantai menahan mual dan pusing goncangan kapal. Seperti bermain togel atau judi, ada untung dan tidak beruntungnya. Benar saja, ini dikarenakan Nusa Penida masih meminjam pelabuhan di Padang Bai untuk berlabuh yang waktu berlabuhnya dibatasi karena harus berbagi dengan kapal lain dari luar pulau bali yang ingin berlabuh. Penyakit kronis seperti calo tiket bertebaran menggerogoti setiap penumpang. Jika saja pelabuhan dibuat di daerah klungkung, jadwal penyebrangan kapal ini akan lancar. Seandainya pembangunan pelabuhan Gunaksa yang digadang-gadang dikerjakan dengan sungguh – sungguh, dimana yang seharusnya ditanam itu beton bukannya korupsi dan pencurian si tikus berdasi, pasti ini sudah berbeda ceritanya. Jika hal semua berjalan dengan baik, niscaya kata seandainya akan hilang dan menjadi “sarana trasportasi diperbaiki dan dikembangkan, Nusa Penida tak akan menjadi pulau terisolasi lagi”.

3.      “seandainya sarana listrik dan pembangkit listrik tenaga bayu/angin ini tidak sedang sakit “masuk angin”, Nusa Penida pasti akan indah dimalam hari dengan kilauan cahaya”
Masih segar di ingatan masyarakat, kincir angina raksasa sebagai sumber listrik mandiri yang bersih yang diprakarsai pemerintah untuk membantu menyumbang listrik di Nusa Penida agar mandiri dalam hal listrik ternyata tertanam benih KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang terus menggerogoti seperti karat yang perlahan merusak kincir ini satu persatu. Dengan biaya milyaran rupiah yang dianggarkan, seharusnya ini menjadi akses listrik yang terbarui yang juga sebagai tujuan wisata yang bisa dikembangkan jika di rawat dengan baik. Masih segar di penglihatan masyarakat, kincir angina yang seharusnya menjadi kebagnggaan yang berubah menjadi virus yang menggerogoti PLN di Nusa Penida karena harus tetap dialiri listrik agar tetap berfungsi. Selain itu, mari menengok hal lain lagi, di daerah pegunungan, masih banyak tempat/daerah yang belum terelus hangatnya cahaya listrik yang menerangi di kala malam mengambil tugasnya. Belum meratanya listrik membuat masyarakat “buta” di malam hari. Jalan-jalan desa tidak terdapat tiang lampu penerang jalan. jika ini diperbaiki, bukan tidak mungkin kalimat diatas berubah menjadi “sarana listrik dan pembangkit listrik tenaga bayu/angin ini sudah sehat lagi, Nusa Penida pasti akan indah dimalam hari dengan kilauan cahaya”.

4.      “seandainya sumber air di Nusa Penida bisa dimanfaatkan dan dimeratakan, Nusa Penida akan berlimpahan air”.
 
Sumber air di Nusa Penida sesungguhnya tidak bisa dibilang sedikit, penide dan guyangan merupakan sumber air yang umum terdengar di masyarakat. Tetapi terbatasnya alat, biaya, dan SDM membuat sumber air menjadi sumber yang sulit dicari. Memang, dibalik kesulitan, muncul kekuatan. Orang tua kita dulu, sangat sulit mencari, bahkan harus menempuh berkilometer jalan untuk mendapat tetes demi tetes air, hal ini menjadikan otot- otot terbentuk dan kesehatan melekat. Masyarakat yang mempunyai dana dan keluarga dengan kepintaran bisa membuat “cubang” atau penampungan air seperti sumur yang semakin kedalam semakin berdiameter besar. Memang ini merupakan sebuah warisan budaya yang patut dilestarikan, namun, masyarakat juga perlu mendapatkan kemudahan akses air yang lebih terjamin untuk terjaminnya kesehatan dari konsumsi air minum. Jika saja air di Nusa Penida merata dan terjamin kebersihannya, maka kalimat diatas akan berubah menjadi “sumber air di Nusa Penida telah dimanfaatkan dan dimeratakan, Nusa Penida menjadi berlimpahan air”.