Sebuah pulau besar yang merupakan bagian dari Bali itulah
Nusa Penida. Terkenal karena eksotika alam yang disajikan dan senyuman ramah
selamat datang para penduduknya. Harta karun yang tersembunyi dalam bentuk
kemilau pantai dan deretan tebing karang yang menakjubkkan. Matahari pagi
menghias dinginnya pantai berpasir hitam dan putih. Rona kemerahan mewarnai
deburan ombak yang menggulung menghempas daratan menambah lengkap keindahan
alamnya.
Ditengah keindahan alam yang kaya dan tempat yang
eksotis, tertanamlah sekumpulan khayalan yang menjelma menjadi harapan.
Khayalan dan harapan yang datang dan tercipta dari masyarakat dengan
pemikirannya yang menginginkan sebuah perubahan untuk pulau tercinta. Kata-kata
usang yang menghiasi setiap barisan kata yang akan keluar demi perubahan yang
diharapkan menjadi khayalan tingkat tinggi yang berkarat. Salah satu barisan
kata-kata itu berbunyi “seandainya Nusa Penida….”, yang dilanjutkan dengan
setumpuk kata berkarat lainnya tersusun membentuk kalimat harapan
1. “seandainya Nusa Penida memiliki jalan yang
rata dan lebar, ia pasti akan berkembang maju”.
Ini adalah Kalimat pertama yang sering terucap dari dalam hati masyarakat
yang mencintai Nusa Penida. Kalimat itu bukannya tidak berdasar, jalan yang
menjadi pijakan kaki dan roda itu penuh lubang, bergelombang dan sempit. Lubang
– lubang yang tercipta bukan karena disengaja, namun karena sudah tua, rapuh,
dan tak terawat. Lubang – lubang yang seperti ranjau ini sering menjadi sarang
air dan kolam kecil ketika rintik air turun dari langit. Bahkan, lubang itu
juga berisi suara – suara keluhan setiap kali pengendara melewati lubang
berbatu ini dengan kendaraan. Sarana yang seharusnya dirombak dan diperbaiki
total ini terkadang hanya dipoles seadanya untuk memunculkan kesan sudah
diperbaiki. Dan lagi, tidak ada lampu penerang jalan yang fungsinya bisa
dibilang kronis. Jalan yang dibuat saat masa bapak soeharto ini seperti akan
berubah menjadi jalan bertanah biasa.jika saja jalan ini diganti menjadi jalan
yang rata atau istilah lainnya hotmik, pasti akan lain ceritanya. Kata
“seandainya” yang mengawai setiap kalimat pasti akan hilang dan akan menjadi
“Nusa Penida memiliki jalan yang rata da lebar, ia pasti akan berkembang maju”.
2. “Seandainya sarana trasportasi diperbaiki dan
dikembangkan, Nusa Penida tak akan menjadi pulau terisolasi lagi”
Ini adalah kalimat kedua yang datang dari dalam goa yang penuh lumut
kebosanan masyarakat Nusa Penida. Kenapa masyarakat mengeluarkan kalimat
seperti itu??, bukannya sudah banyak transportasi yang dibuat. Iya, memang
banyak. Banyak transportasi dibuat seperti boat dan jukung, tetapi banyak juga
tanggung jawab dan taruhan yang mesti diujung tanduk. Faktor keamanan yang
masih kurang, pemaksaan jumlah penumpang yang melebihi kapasitas, pengoperasian
perahu yang sudah tua, seperti berlayar mempertaruhkan nyawa. Jukung dan boat ini
memang bagus untuk menambah pendapatan daerah, khusunya Nusa Penida yang
memiliki usaha penyebrangan ini. Tetapi faktor keamanan, kenyaman, keselamatan
perlu juga diprioritaskan. Kalu ingin lebih aman, naik saja kapal roro, itu
saja kok repot? Iya, memang lebih aman, memang tidak merepotkan. Tetapi ada
juga tetapinya. Kalau beruntung, masyarakat bisa duduk dibangku/tempat duduk.
Namun jika tidak beruntung, masyarakat seperti “pengemis” yang duduk dilantai
menahan mual dan pusing goncangan kapal. Seperti bermain togel atau judi, ada
untung dan tidak beruntungnya. Benar saja, ini dikarenakan Nusa Penida masih
meminjam pelabuhan di Padang Bai untuk berlabuh yang waktu berlabuhnya dibatasi
karena harus berbagi dengan kapal lain dari luar pulau bali yang ingin berlabuh.
Penyakit kronis seperti calo tiket bertebaran menggerogoti setiap penumpang.
Jika saja pelabuhan dibuat di daerah klungkung, jadwal penyebrangan kapal ini
akan lancar. Seandainya pembangunan pelabuhan Gunaksa yang digadang-gadang
dikerjakan dengan sungguh – sungguh, dimana yang seharusnya ditanam itu beton
bukannya korupsi dan pencurian si tikus berdasi, pasti ini sudah berbeda
ceritanya. Jika hal semua berjalan dengan baik, niscaya kata seandainya
akan hilang dan menjadi “sarana trasportasi diperbaiki dan dikembangkan, Nusa
Penida tak akan menjadi pulau terisolasi lagi”.
3. “seandainya sarana listrik dan pembangkit
listrik tenaga bayu/angin ini tidak sedang sakit “masuk angin”, Nusa Penida
pasti akan indah dimalam hari dengan kilauan cahaya”.
Masih segar di ingatan masyarakat, kincir angina raksasa sebagai sumber
listrik mandiri yang bersih yang diprakarsai pemerintah untuk membantu
menyumbang listrik di Nusa Penida agar mandiri dalam hal listrik ternyata
tertanam benih KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) yang terus menggerogoti
seperti karat yang perlahan merusak kincir ini satu persatu. Dengan biaya
milyaran rupiah yang dianggarkan, seharusnya ini menjadi akses listrik yang
terbarui yang juga sebagai tujuan wisata yang bisa dikembangkan jika di rawat
dengan baik. Masih segar di penglihatan masyarakat, kincir angina yang
seharusnya menjadi kebagnggaan yang berubah menjadi virus yang menggerogoti PLN
di Nusa Penida karena harus tetap dialiri listrik agar tetap berfungsi. Selain
itu, mari menengok hal lain lagi, di daerah pegunungan, masih banyak
tempat/daerah yang belum terelus hangatnya cahaya listrik yang menerangi di
kala malam mengambil tugasnya. Belum meratanya listrik membuat masyarakat
“buta” di malam hari. Jalan-jalan desa tidak terdapat tiang lampu penerang
jalan. jika ini diperbaiki, bukan tidak mungkin kalimat diatas berubah menjadi “sarana
listrik dan pembangkit listrik tenaga bayu/angin ini sudah sehat lagi, Nusa
Penida pasti akan indah dimalam hari dengan kilauan cahaya”.
4. “seandainya sumber air di Nusa Penida bisa
dimanfaatkan dan dimeratakan, Nusa Penida akan berlimpahan air”.
Sumber air di Nusa Penida sesungguhnya tidak bisa dibilang sedikit, penide
dan guyangan merupakan sumber air yang umum terdengar di masyarakat. Tetapi
terbatasnya alat, biaya, dan SDM membuat sumber air menjadi sumber yang sulit
dicari. Memang, dibalik kesulitan, muncul kekuatan. Orang tua kita dulu,
sangat sulit mencari, bahkan harus menempuh berkilometer jalan untuk mendapat
tetes demi tetes air, hal ini menjadikan otot- otot terbentuk dan kesehatan
melekat. Masyarakat yang mempunyai dana dan keluarga dengan kepintaran bisa
membuat “cubang” atau penampungan air seperti sumur yang semakin kedalam
semakin berdiameter besar. Memang ini merupakan sebuah warisan budaya yang
patut dilestarikan, namun, masyarakat juga perlu mendapatkan kemudahan akses
air yang lebih terjamin untuk terjaminnya kesehatan dari konsumsi air minum.
Jika saja air di Nusa Penida merata dan terjamin kebersihannya, maka kalimat diatas
akan berubah menjadi “sumber air di Nusa Penida telah dimanfaatkan dan
dimeratakan, Nusa Penida menjadi berlimpahan air”.